Sistem
Ekonomi Islam
Makalah
ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
yang diampu oleh Dra. Rosita Adiani
AHMAD ROKI ROBBANI 5415134250
CHAIRANI SABRINA M 5415136275
TEGUH ANGGARA 5415134217
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL, FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014
KATA
PENGANTAR
Atas
berkat rahmat dan karunia ALLAH Yang Maha Esa, penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah
yang berjudul “Sistem Ekonomi Islam” merupakan salah satu tugas dalam matakuliah
Pendidikan Agama Islam yang diampu oleh Dra. Rosita Adiani.
Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusun. Saran
dan kritik yang membangun dengan terbuka penyusun terima untuk meningkatkan
kualitas makalah ini.
Jakarta, 22 Desember 2013
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Sistem ekonomi Islam merupakan system ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak
dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan).
Karena kerjasama meupakan tema umum dalam organisasi sosial Islam.
Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi
kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi
pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT.
Jadi Islam mengajarkan kepada para pemeluknyaagar memperhatikan bahwa perbuatan
baik (amal sâlih) bagi masyarakat merupakan
ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik- baiknya demi
kebaikan orang lain.
Ajaran ini bisa ditemukan di
semua bagian Al-Quran dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi
Muhammad SAW sendiri.
Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering
sekali ditekankan dalam Al-Quran maupun Sunnah, sehingga karena itu banyak
sahabat menganggap harta pribadi merekasebagai
hak milik bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam. Kesadaran
dan rasa belas kasihan kepada sanak keluarga dalam keluarga
besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain, karena
berbuat baik (beramal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya
dihimbau tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam).
Kerukunan hidup dengan tetanggasangat sering ditekankan baik dalam Al-Quran
maupun Sunnah; di sini kita jugamelihat penampilan kepedulian sosial
lain yang ditanamkan oleh Islam. Dan akhirnya, kesadaran, kepedulian dan
kesiapan untuk melayani dan berkorban disaat diperlukan demi kebaikan
masyarakat keseluruhan amat sangat ditekankan. Ajaran-ajaran Islam pada umumnya
dan terutama ayat-ayat Al-Quran berulang-ulang menekankan nilai kerjasama dan
kerja kolektif. Kerjasama dengan tujuan beramal saleh merupakan perintah
Allah yang dinyatakan dalam Al-Quran. Baik dalam masalah-masalah
spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial, Nabi SAW
menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai landasanmasyarakat Islam dan
merupakan inti penampilannya.
1.2
TUJUAN
1.2.1
Tujuan Umum
Tujuan
pembahasan mengenai Ekonomi Islam di dunia, khususnya masyarakat Indonesia dan
pemerintah setempat lebih memperhatikan prinsip-prinsip ajaran agama terutama
dalam bidang ekonomi dengan menggunakan system ekonomi Islam. Sehingga bisa masyarakat
bisa berakivitas dalam bidang ekonomi sesuai tuntutan syariat yang diridhai
oleh Allah SWT.
1.2.2 Tujuan
Khusus
Tujuan Manfaat
yang ingin diperoleh dari makalah ini adalah :
- Kita dapat membandingkan
konsep ekonomi Islam dan ekonomi lainnya.
- Mahasiswa
dapat Menyebutkan beberapa lembaga ekonomi Islam.
- Kita
dapat menjelaskan realitas ekonomi umat Islam di Indonesia dan alternative
beserta solusinya.
1.3
RUMUSAN MASALAH
Adapun
masalah yang dibahas pada makalah ini adalah :
1.
Apa
pengertian ekonomi Islam?
- Apa
tujuan dan fungsi dari ekonomi Islam?
- Apa
saja lembaga-lemabaga yang dinaungi oleh system ekonomi Islam?
- Apa
perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis dan komunis?
- Bagaimana
kondisi perekonomia umat khususnya di Indonesia?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANDASAN Al-QURAN
Q.S.
al-A’raf (7): 128
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah
pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesunggunhnya bumi (ini) kepunyaan
Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.
Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”
Pada
ayat ini, Allah mengamanatkan bumi serta isinya bagi manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya manusia meningkatkan ilmu pengetahuan
guna menyimak berbagai fenomena yang ada di bumi.
Q.S. al-Nisa (4): 32 Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,
dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu”
Ayat
ini, mengisyaratkan bahwa Allah memberi rizki kepada manusia dengan ukuran yang
berbeda-beda tergantung usahanya.
Q.S.
An-Nisa (4): 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu, dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”
(Q.S. al-Nisa (4): 29
Melalui
ayat ini Allah mengharuskan adanya kejujuran dalam melakukan perdagangan
sehingga terciptanya kemaslahatan yang menjadi harapan setiap individu. Masih
berkaitan dengan hal diatas, Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an
Q.S. al-Muthaffifin (83): 1-3
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda,
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
Q.S. al-Baqarah (2): 278
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman”[20].
Kedua
ayat tersebut menghendaki adanya kemaslahatan dalam perlakuan perekonomian,
tidak dibolehkan menciptakan sistem saling memaksa kepada pelaku ekonomi
lain untuk melakukan sistem tersebut, walaupun ia tahu dirinya akan menjadi
korban dari para pelaku riba.
Q.S.
al-Baqarah (2): 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang.
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”[21].
Ayat
ini mengisyaratkan bahwa, pinjaman dibolehkan asal digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat bagi hidup manusia, dan demi terselenggaranya optimalisasi produksi.
Karena utang sangata rentan terhadap masalah.
Dan
masih banyak lagi ayat Al-Quran yang berkenaan dengan system ekonomi Islam.
2.2 PENGERTIAN
SINGKAT MENGENAI EKONOMI ISLAM
Berikut pengertian ekonomi Islam menurut
beberapa ahli, untuk memperdalam pemaknaan pembaca akan pengertian ekonomi
Islam yang kami ambil dari berbagai sumber:
1. Yusuf Qardhawi:
“Ekonomi Islam adalah
ekonomi yang
didasarkan pada ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan
akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at
Allah.”
2. M. Syauqi Al-Faujani:
“Ekonomi Islam merupakan segala
aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok
ajaran Islam tentang ekonomi.”
3. S.M. Hasanuzzaman:
“Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan
aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan
pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan
memungkinkan mereka melaksanakan
kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”
Adapun secara umum ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku
ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari
dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja
merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana
firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
yang beriman akan melihat pekerjaan itu.”
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana
sabada Rasulullah Muhammad saw:
”Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di
waktu sore itu ia mendapat ampunan.”
(HR.Thabrani dan Baihaqi)
2.3 FUNGSI, PERAN EKONOMI ISLAM
2.3.1 Fungsi dan
Peran Ekonomi Islam
Fungsi ekonomi
Islam dan perannya terhadap perkembangan zaman snagatlah besar, melalui system
ekonomi Islam pertumbuhan ekonomi dna kesejahteraan Negara bisa meningkat. Hal
ini tercatat dalam sejarah saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
bahwa pada saat itu kota Baghdad yang berada dalam kepemimpinannya mengalami sesuatu yang sangat
menakjubkan yaitu kesulitan para muzakki
(pemberi zakat) mencari penerima zakat. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa
telah terjadi sebuah kecemerlangan system ekonomi dalam mengatur Negara. dan ekonomi Islamlah satu-satunya yang dapat membuatnya menjadi
kenyataan. Adapun pada masa kini,
pertumbuhan ekonomi Negara yang mengambil system ekonomi Islam misalnya Saudi
Arabia tidak mengalami kerugian yang berarti saat terjadi krisis moneter pada
tahun 90an. Hal ini membuktikan betapa harusnya negara terutama negara Islam seperti Indonesia untuk
menjadikan Ekonomi Syariah sebagai tonggak dasar pertumbuhan ekonomi Negara.
Pada saar
ini Peran ekonomi Islam di Indonesiapun mulai mengalami pertumbuhan yang cepat,
hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya
berbagai macam Lembaga Ekonomi Syariah. Respon
masyarakatpun menyambut baik hal ini, karena dalam ekonomi syariah kedua
belah pihak, baik pihak pembeli maupun penjual mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan
menggunakan ekonomi kapitalisme yang menyuburkan lahan riba.
2.3.2 Manfaat Ekonomi
Islam
Mengamalkan
ekonomi Islam jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi ummat itu sendiri,
dengan menggunakan system ekonomi Islam seorang muslim dapat mewujudkan
integritasnya sebagai muslim yang kaffah, sehingga Islam tidak lagi parsial.
Bila ummat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti
keislamannya belum kaffah sebab ajaran ekonomi Islamnya diabaikan. Selain itu
dengan mengamalkan system ekonomi Islam dapat meningkatkan kesejahteraan
oranglain karena sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang mengutamakan bagi
hasil dan kepedulian terhadap sesama manusia.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1
SISTEM EKONOMI ISLAM
3.1.1 Definisi dan Sejarah Ekonomi
Islam
Sistem ekonomi
Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al iqtishâd
al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada:
bertujuan dalam suatu perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan
uang atau tidak boros sebagaimana tertera di buku Lisanul Arab milik
Ibnu Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang mempelajari tentang
segala sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam sehubungan dengan al
iqtishâd dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq.
Dengan bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam
berarti analisa tentang hal-hal seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum
syariah. Sebagaimana ketika istilah ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan
mengandung analisa perkara perkonomian ditinjau dari segi-segi fiqhnya.
Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada
zaman Rasul, melainkan baru ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah.Tetapi meskipun begitu substansi dari istilah tersebut sudah muncul
bersamaan dengan tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian pada
zaman ini walau tidak mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada
prakteknya fokus mereka sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan,
efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran
spirit dan objek utama dari pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian
tidak jauh dari sejarah perkembangan fiqh itu sendiri. Hal itu tidak lain karena asas dari ekonomi Islam adalah mu’amalah yang
disyariahkan dalam Qur’an dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah beberapa
buku yang memuat tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi sudah banyak dikarang oleh para ulama.
3.1.2 Karakteristik Ekonomi Islam
Sistem
ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis
mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah
Islam. Dari sini bias dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh
dan karakteristik tersindiri. Dr. Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam, yaitu :
1)
Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana
diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua perkaranya kepada
Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala kegiatan
tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda
dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya member kepuasan
pada diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu
menanamkan akhlaq dan adab
dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian.
Islam telah mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi
sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi.” Kemudian dilanjutkan dengan ayat “Dia
Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”
Ditambah lagi dengan firmanNya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah Telah menjadikan kamu menguasainya.”
Jelas penuturan
ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem ekonomi islam,
yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat
yang tentram serta seimbang perkonomiannya.
2)
Keseluruhan (syumûliah)
Sistem ekonomi
Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan
dari ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan
sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek
perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam
Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang
memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti
mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi
sesuatu yang mengandung hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan
berbagai perbuatan lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada
dalam Islam.
3)
Fleksibilitas (murûnah)
Kaidah-Kaidah
dalam Islam bersifat shôlihun likulli
zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan
dalam berbagai dimensi waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat dengan
tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat (hal yang
masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam
agama dan furu’nya (cabang).
Dengan model
yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan
hukum-hukum fiqh yang ada
Tapi
fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy
di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah
menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi
yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang tidak diterima
yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum yang berbeda
sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu sama saja
mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan
bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa
diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini
mampu menghukumi perkembangan zaman.
Dr. Rif’at
Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan bahasan ahkam
taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis
hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al
‘afwu dalam hadis Rasul
وما
سُكّت عنه فهو عفو
Ibnu Taimiyah
menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang dengannya
orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di dunia.
Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita
mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan
ketentuan yang ditetapkan syariah. Adapun adat adalah hal yang biasa dilakukan
oleh manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak adanya larangan (al
ashlu fîhi ‘adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang olehNya.
Dengan kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam
berasaskan ibâhah atau al ‘afwu. Maka dari penjelasan
singkat Dr. Rif’at tadi semakin memperluas ranah perkonomian Islam dengan
menganggapnya ada pada asas ibâhah.
4)
Keseimbangan (tawâzun)
Islam dan
berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya.
Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhiratdan juga keseimbangan antara
iman dan perekonomian serta
keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga
memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi
porsi yang sesuai antara keduanya.
Hal penting
lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada
kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini,
yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual
ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain
dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan
negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara
keduanya.
Asas dari
kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu dianggap
sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan
pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap
pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam
menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme
yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme ekonomi. ataupun
konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang
malah mengurangi gairah untuk berproduksi.
Rumusan kapitalis
dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur hubungan antara
individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa keduanya
itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi
masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub
yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan
ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini
setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam mekanisme
ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang
bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap.
Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu
layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi
sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga
kesehatan di suatu daerah.
Jelas sudah
bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan
dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk
menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban
zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara.
Di sini didapati bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga
keseimbangan dan kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak
tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.
5)
Keuniversalan (‘âlamiyyah)
Konsep
keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak
lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas
setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada
tahun 2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi
Islam. Bahkan salah satu yang pertama kali menerapkannya adalah vatikan sendiri
sebagaimana yang ditegaskan dalam salah satu surat kabar resmi milik mereka yang
bernama L’osservatore Romano edisi 6 Maret 2009.
Selain itu
Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis menuliskan
sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal itu tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin
redaksi majalah Le Journal des Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul
“apakah Wall Street siap untuk menerima prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan
ini bermula dari pendapat dia tentang pentingnya penerapan hukum Islam di ranah
perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru dunia.
3.1.3
Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Islam
Maksud
penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta,
sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka
dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan
manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang
ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya
bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu:
kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan
berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum.. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan
ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun
kapitalis.
1.
Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah
yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut.
Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat
ar Rum ayat 30 “30. Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” Kemudian ada
sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah
yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan, maka apa
sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman
dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya
kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang
hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu
tidak begitu jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim
disebutkan “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta,
niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”
Berlandaskan
dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk fitrah
dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan
individual di sini tidak sama sebagai
mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan
materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam
memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya
akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada
pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga
menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada individual,
diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan
mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum
termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan
individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan
prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau
dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam
firmanNya “Tiadakah kamu mengetahui bahwa
kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah
Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun
posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya
pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual manusia
sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang
dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan)
dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya.
Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan
karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang Menciptakan. Maka
dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu yang dimiliki
Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain
berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi
karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
2.
Kepemilikan Umum
Dr. Robi’
Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam yaitu
segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr. Robi’
membagi kepemilikan individual menjadi:
a.
Kepemilikan negara
Dr. Robi’
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa
diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk
dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga
lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak
dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang
pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa
yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan untuk
baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang
mengandung maslahat umum.
b.
Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum
bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau individu. Maka
yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber daya
yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu
individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air,
api, rumput lapang, jembatan
dan sumber daya
lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan
bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa
adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber
tersebut bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah
sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar
yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada kepemilikan umum
ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta (umum)
maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan
aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya
dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu
menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang kedua bahwasanya
pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam masalah produksi.
Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem
Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan umum serta
membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah
seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan
Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak
lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta
pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai
pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran
dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al
Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang
dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar
Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al
Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham.
Itu baru
dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari
berbagai macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.
3.2
LEMBAGA-LEMBAGA DALAM EKONOMI ISLAM
Sistem perekonomian ummat
manusia tersebut perlu diatur sedemikian rupa sebab hal ini adalah merupakan
kebutuhan utama yang tidak dapat ditawar-tawar keberadaannya. Seluruh ummat
manusia di mana dan kapan saja dia berada, pastilah akan mengalami dan
berinteraksi dengan orang lain dalam rangka system perekonomian ini. Sebab hal
ini adalah merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup umat manusia.
Sistem perekonomian tersebut banyak macam
ragamnya baik yang diatur secara langsung oleh Allah swt, maupun yang telah ada
sebelumnya, namun keberadaannya dilegitimasi oleh ajaran agama. Sistem-sitem
perekonomian tersebut adalah sebagai berikut :
1
.
Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat adalah
merupakan sebuah lembaga keagaamaan yang beregerak dalam bidang perekonomian
yang salah satu tugas pokoknya adalah mengentaskan masyarakat khususnya ummat
Islam dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Pembentukan lembaga ini
adalah didasarkan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Badan Amil Zakat diharuskan dibentuk secara berjenjang mulai dari
tingkat Pusat sampai dengan tingkat kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar potensi
ummat Islam dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqah dapat diberdayakan secara
maksimal sehingga berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dirasa sangat penting
sebab zakat, infaq dan shodaqah adalah merupkan potensi ummat Islam yang dapat
komplementer dengan pembangunan nasional, sebab potensi zakat, infaq dan
shodaqah apabila dapat diberdayakan secara maksimal, maka akan mendatangkan
dana yang cukup besar yang dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai
persoalan bangsa dan Negara.
2
. Badan Perwakafan Nasional
Wakaf
merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di
Indonesia, namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini belum memberikan
kontribusi yang signifikan bagi
keberlangsungan bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan karena wakaf sebagai aset
berharga ummat Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara maksimal dan belum menghasilkan secara
optimal. Potensi wakaf yang sangat besar
tersebut kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan
tersebut belum bersifat produktif, sehingga dengan demikian maka jadilah
harta-harta wakaf itu dalam bentuk lahan tidur yang tidak dapat menghasilkan
secara ekonomis.
3.
Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul Maal wat Tamwil adalah
merupakan sebuah lembaga Negara yang bergerak dalam bidang penampungan harta
ummat Islam dan Negara. Semua dana yang terkumpul apakah itu dari pajak maupun
dari yang lainnya, kesemuanya dikumpul pada lembaga yang disebut dengan Baitul
Maal Wat Tamwil. Baitul Maal Wat Tamwil ini adalah semacam Kas Negara ataupun
Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan mengelola
keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada public secara
transfaran dan akuntable.
Baitul Maal Wat Tamwil adalah
pertama sekali diprakarsai oleh Rasulullah saw sebagai sebuah lembaga keuangan
Negara pada abad ketujuh masehi yang mempunyai tugas yakni semua hasil
pengumpulan Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan
sesuai dengan kebutuhan Negara. Status harta pengumpulan itu adalah milik
Negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan
tertentu, pemimpin negara dan pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk
mencukupi kebutuhan peribadinya. Hal ini tentu berada di luar jalur dan
ketentuan yang berlaku.
Pada masa pemerintahan
Rasulullah saw, Baitul Maal bertempat di Masjid Nabawi yang ketika itu
dipergunakan sebagai kantor pusat Negara yang sekaligus berfungsi sebagai
tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan perbendaharaan
Negara tidak disimpan di Baitul Maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang
tersebut ditempatkan di lapangan terbuka. Namun harta Negara seperti uang dan
lain sebagainya yang dapat disimpan, ditempatkan di Baitul Maal yang adalah
merupakan perbendaharaan dan Kas Negara.
4. Bank
Syariah
Perbankan
syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang berdasarkan hukum
Islam yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang amat penting danm
strategis peranannya dalam mengatur perekonomian dan mensejahterakan umat
Islam. Kehadiran lembaga perbankan bukan hanya dapat mengatur perekonomian
masyarakat, akan tetapi kehadirannya dapat juga menghancurkan perekonomian
sebuah Negara sebagaimana yang dialami bangsa Indonesia decade delapan puluhan
dan sembilan puluhan.
Oleh karena itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi syariah sehingga
dapat melindungi uang si penanam modal dan juga memberikan keuntungan bagi si
pemiunjam modal. Pada keduanya terjalin hubungan yang sinergis dan saling
menguntungkan, serta kesepakatan bersama apabila terjadi kerugian yang tidak
diinginkan bersama. Apabila terjadi
keuntungan, maka sesungguhnya hal itu mudah diatur, akan tetapi apabila terjadi
kerugian ataupun jatuh pailit, maka timbullah percekcokan. Dalam kaitan dengan
ini, hukum Islam telah memberikan aturan main yang saling menguntungkan dan
tidak saling merugikan.
Bank Islam ataupun Bank Syariah sebagaimana
disebutkan oleh Fuad Mohammad Fakhruddin adalah bank dimana kebanyakan
pendirinya adalah orang yang beragama Islam dan seluruhnya atau sebahagian
besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga dengan demikian maka kekuasaan
dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai yang lainnya terletak
di tangan orang Islam.
Sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank
Islam atau Bank Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti
ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam
muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Dari definisi tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun Bank Syariah adalah bank yang mana seluruh
atau sebahagian besar sahamnya milik orang Islam dan beroferasi dengan
menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam (al-Quran dan al-Sunnah) yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.
5.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank
perkreditan rakyat yang melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun
disebut juga bank perkreditan rakyat yang pola operasionalnya mengikuti
prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat dibentuk
dengan badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan
Daerah.
6.
Asuransi Syariah
Asuransi dalam Islam lebih dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling memikul resiko
di antara sesama orang Islam, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi
penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas
dasar tolong menolong dalam kebaikan
dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarruk) yang ditunjuk
untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dalam pengertian tersebut sesuai
dengan surat al-Maidah (5) : 2 “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Asuransi seperti ini disebut dengan Asuransi Syariah.
Asuransi Syariah sebagaimana tersebut di atas
mempunyai prinsip-prinsip pokok sebagai berikut :
1.Saling bekerjasama dan saling membantu.
2.Saling melindungi dari berbagai kesusahan.
3.Saling bertanggungjawab.
4.Menghindari unsur gharar, maysir, dan riba.
7.
Obligasi Syariah
Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat
jangka panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban
yang timbul akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan
ketentuan tertentu serta membayar
sejumlah manfaat secara priodik menurut akad.
Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan
Obligasi Konvensional adalah terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah
ditentukan di awal transaksi jual beli, sedangkan pada obligasi syariah saat
perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga, yang ditentukan adalah
berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di masa
mendatang.
Obligai syraiah sebagaimana tersebut di atas dapat
dibagi kepada jenis-jenis obligasi syariah sebagai berikut :
1. Obligasi
Mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad mudharabah (akad kerjasama
antara pemilik modal / sahohibul maal / investor yang menyediakan dana penuh
100 % dan tidak boleh aktif dalam pengelolaan usaha dan pengelola / mudhorib /
emiten mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan
tertentu.
2. Obligasi Ijarah, yaitu obligasi
berdasarkan akad ijarah (suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian) artinya pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan obyek
dengan manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik obyek. Dalam akad
ijarah disertai adanya perpindahan manfaat
tetapi tidak perpindahan kepemilikan.
8.
Pegadaian Syariah
Pegadaian syariah dalam hukum Islam dikenal dengan
istilah rahn. Rahn secara bahasa berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal),
dan al-habas (jaminan). Secara istilah rahn berarti menjadikan sesuatu barang
yang berharga sebagai jaminan hutang dengan dasar bisa diambil kembali oleh
orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.
Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut telah
berdiri dan beroperasi di Indonesia pada 9 Kantor wilayah, 22 pegadaian unit
syariah, dan 10 kantor gadai syariah. Jumlah pegadaian tersebut masih jauh dari
mencukupi dan memadai sebab jumlah itu baru 2,9 % dari total 739 perum
pegadaian cabang di seluruh Indonesia. Idealnya di mana ada perum pegadaian,
maka di situ pula ada perum pegadaian syariah, sehingga tersedia alternative
pilihan bagi masyarakat.
9.
Reksadana Syariah
Salah satu produk investasi yang sudah menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan syariah adalah reksadana. Produk investasi ini bisa
menjadi alternativ yang baik untuk menggantikan produk perbankan yang pada saat
ini dirasakan memberikan hasil yang relativ kecil.
Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi
menurut ketentuan dan prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara
pemodal sebagai pemilik harta dengan manejer investasi sebagai wakil shohibul
maal, maupun antara manejer investasi sebagai wakil shohibul maal dengan
pengguna investasi. Reksadana syariah dan reksadana konvensional sebenarnya
hampir sama pengertian dan bentuknya, hanya saja berbeda dari sisi pengelolaan,
kebijaksanaan invesatasi, akad, pelaksanaan investasi dan pembagian keuntungan.
10.
Badan Arbitrase Syariah Nasional
Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu badan
yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas untuk menyelesaaikan
perkara perbankan di luar pengadilan umum.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagaimana
tersebut di atas memiliki tujuan sebagai berikut :
1.Menyelesaikan perselisihan-perselisihan / sengketa-sengketa keperdataan
dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian / islah sebagaimana yang
dimaksud dalam Surat al-Nisa ayat 128 dan al-Hujurat ayat 9.
2.Meneyelasaikan sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam.
3.Menyelesaikan kemungkinan adanya sengketa di antara bank-bank syariah.
4.Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa muamalah/perdata
yang timbul dalam bidang perdagangan, jasa, industri dan lain sebagainya.
3.3
PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DENGAN EKONOMI KAPITALIS
Perbedaan sistem ekonomi Islam
dan sistem ekonomi kapitalis tidak haya pada hal-hal yang bersifat aplikatif.
Namun mulai dari fasafahnya sudah berbeda. Di atas falsafah yang berbeda ini
dibangun tujuan, norma dan prinsip-prinsip yang berbeda. Hal ini karena
keyakinan seseorang mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian,
perilaku, gaya hidup, dan selera manusia. Dalam konteks yang lebih luas,
keyakinan juga mempengaruhi sikap terhadap orang lain, sumber daya, dan
lingkungan.
Dalam sistem kapitalis, Tuhan
dipensiunkan (retired God). Hal ini direfleksikan dalam konsep “laissez
faire” dan “invisible hand”. Dari falsafah ini kita bisa melihat
tujuan ekonomi kapitalis hanya sekadar pertumbuhan ekonomi. Asumsinya dengan
pertumbuhan ekonomi setiap individu dapat melakukan kegiatan ekonomi demi
tercapainya kepuasan individu.
Begitu pula dengan norma-norma
ekonomi. Karena peran Tuhan sudah ditiadakan, semua hal diserahkan kepada
individu. Akibatnya dalam sistem kapitalis kepemilikian individu menjadi
absolut. Norma-norma yang dibangun berdasarkan pada individualisme dan utilitarianisme.
Setiap barang dianggap baik selama bernilai jual. Tidak ada batasan ataupun
norma yang jelas, baik dan buruk diserahkan kepada individu masing-masing. Dari
sinilah kerusakan berawal. Terjadi kedzaliman terhadap sesama manusia,
ketimpangan ekonomi dan sosial, perusakan alam, dan sebagainya. Semuanya
terjadi demi meraih kepuasan individu tanpa dibatasi oleh norma-norma agama.
Falsafah ekonimi Islam secara
umum dapat dilihat dari surat al-Muthaffifin ayat 1 sampai 6. Allah berfirman: 1)
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. 2) (Yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. 3) Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4) Tidaklah
orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. 5) Pada
suatu hari yang besar. 6) (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam.
Dengan falsafah tersebut, dalam
konsep kepemilikan misalnya, sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi
kapitalisme. Abdul Sami’ al-Mishri dalam Pilar-Pilar Ekonomi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) merinci konsep kepemilikan. Pertama,
kepemilikan hanya ada dalam area yang tidak menimbulkan kedzaliman bagi orang
lain. Kedua, tidak semua barang bisa dimiliki individu. Barang-barang
yang menyangkut kebutuhan orang banyak tidak bisa dimiliki, seperti padang
rumput, sumber air dan sumber energi. Ketiga, terdapat hak milik orang
lain atas barang yang dimiliki oleh seorang muslim, dan harus ditunaikan sesuai
dengan ketentuan Allah (zakat, infak, shadaqah, dan sebagainya). Keempat,
kepemilikan harus didapatkan dengan jalan halal.
3.4
REALITAS EKONOMI UMAT ISLAM DI INDONESIA
Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi
persendian ekonomi dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus
mengikutinya. Riba’ yang sangat zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai
ekonomi dunia, termasuk dunia Islam. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF,
Bank Dunia, WTO dll. mendikte semua laju perekonomian di dunia Islam. Akibatnya
krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan korupsi menimpa sebagian
besar dunia Islam.
Namun disisi lain perkembangan
sistem ekonomi syariah dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia terlihat
semakin pesat. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Apalagi
kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia ditimpa oleh krisis multidimensi,
yang diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga saat ini masih
berkepanjangan.
Sektor perbankan syariah
misalnya, sebelum tahun 1998 di Indonesia hanya terdapat satu bank umum yang
beroperasi berdasarkan sistem syariah. Maka pasca 1998, bank-bank umum yang
beroperasi berdasarkan sistem syariah tumbuh dan berkembang, sehingga di
Indonesia kini terdapat kurang lebih sekitar sepuluh bank umum syariah. Belum
lagi ditambah dengan puluhan bank perkreditan syariah yang beroperasi di
tingkat kecamatan di berbagai wilayah negara Indonesia. Tumbuh dan
berkembangnya sektor perbankan syariah merupakan bukti semakin tumbuhnya
kesadaran sebagian masyarakat Indonesia untuk menerapkan syariat Islam dalam
bidang ekonomi. Apalagi fakta membuktikan bahwa bank syariahlah yang relatif
mampu bertahan di tengah serbuan badai krisis ekonomi, meskipun kalau dilihat
dari persentase volume usaha perbankan syariah, maka nilainya masih relatif
kecil yaitu sekitar 0, 23 persen.
Begitu pula dengan perkembangan
sektor zakat, sebagai salah satu pilar ekonomi Islam. Kesadaran sebagian umat
Islam untuk menunaikan zakat semakin besar. Zakat kini tidak dipandang sebagai
suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, zakat juga merupakan
institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat
secara keseluruhan. Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja,
tetapi mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat
juga merupakan institusi yang menjamin adanya distribusi kekayaan dari golongan
“the have” kepada golongan “the have not”. Kekhawatiran dan ketakutan bahwa
zakat akan mengecilkan dan mereduksi capital formation masyarakat sangat tidak
beralasan. Bahkan pengeluaran 2,5 % zakat dari capital stock perekonomian
setiap tahun, akan mampu menyimpan 27,5 % dari setiap tambahan dalam capital
stock untuk mempertahankan perekonomian pada level sebelumnya (lihat Muhammad
Akram Khan dalam Issues in Islamic Economics). Hal ini mengindikasikan
tingginya perhatian dalam pembentukan struktur permodalan dalam masyarakat.
Institusi zakat harus pula
didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif bagi kelompok
masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak menerima
zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen
yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh
masyarakat, sehingga dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu
diminimalisir. Apalagi kita menyadari bahwa angka pengangguran yang terjadi di
Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta orang atau 18 % dari
keseluruhan total penduduk. Kita perlu banyak belajar kepada negara Malaysia
didalam mengelola masalah zakat. Malaysia adalah contoh negara yang berhasil
didalam menjadikan zakat sebagai institusi yang mampu mereduksi tingkat
kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara tersebut, jumlah orang
miskin Malaysia kini hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan kriteria
kemiskinan yang berbeda dengan Indonesia. Kita berharap dengan adanya UU No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di Indonesia yang
mencapai 6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin
Hafidhuddin, ulama pakar zakat) akan dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ)
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus mampu memerankan dirinya sebagai pengelola
zakat yang tidak hanya bersifat amanah, tetapi juga bertanggung jawab,
transparan, dan profesional. Bagi pemerintah sendiri pun, pembiayaan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui dana zakat akan lebih baik bila
dibandingkan dengan kebijakan deficit financing.
Sektor-sektor usaha lainnya,
seperti asuransi syariah, koperasi syariah, BMT (Baytul Maal wat Tamwiil), juga
semakin berkembang, dan bahkan kini telah merambah sektor pasar modal.
Dibukanya Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah memiliki
pangsa pasar tersendiri dan memiliki propek yang sangat strategis kedepannya.
BAB 4
PENUTUP
4. SIMPULAN
Sistem ekomi Islam mempunya peluang yang sangat berpengaruh dalam usaha dalam
rangka mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah
gerakan nyata dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan
kemiskinan (jagoannya orang miskin) tersebut adalah melalui ekonomi syariah,
tepatnya lembaga keuangan syariah. Selanjutnya, disarankan untuk menunjak
keefektifan dalam rangka mengurangi kemiskinan tersebut, maka pemerintah baik
pusat dan daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan bermacam-macam program yang
diluncurkan bisa mensenergikan dengan lembaga keuangan syariah yang ada di
seluruh wilayah Indonesia, dengan pertimbangan lembaga keuangan syariah
memiliki jaringan yang baik ke pusat-pusat kemiskinan, profesional, dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA